Siang itu pemandangan di pertigaan Gellael
tidak berbeda dengan hari-hari biasa. Pemandangan ketika lampu lalu lintas
menyala merah. Pemandangan ketika anak-anak jalanan berhamburan menghampiri
orang-orang yang terpaksa berhenti. Pemandangan ketika anak-anak menjulurkan
tangan -- sebagian sambil mengelus-elus perut, sebuah ungkapan yang
menggantikan kalimat "aku lapar". Pemandangan ketika seorang ibu ikut
menjulurkan tangan kanannya, sementara tangan kiri menahan kain yang menutupi
tubuh bayinya -- sebuah ungkapan kasih naluriah seorang ibu yang sedang
melindungi bayinya dari panas terik matahari.
Beberapa orang tidak mempedulikan anak-anak
ini, tetapi ada juga pengendara motor yang merogoh kantong atau pengendara
mobil yang merogoh tempat uang receh di pintu mobilnya. Uang yang memang sudah
dipersiapkan untuk keperluan seperti ini, ataupun keperluan lain juga.
Begitu lampu hijau menyala, anak-anak ini
menyingkir; ibu dengan bayinya juga ikut menyingkir. Sebagian naik ke jalur
hijau, sebagian lagi kembali ke pinggir jalan, menunggu lampu merah menyala
kembali. Para pengendara yang sudah memberi uang receh maupun yang tidak punya
kepedulian juga melanjutkan perjalanannya.
Inilah pemandangan sehari-hari di
persimpangan Gellael.
***
Uyan, seorang anak berumur delapan tahun juga
ikut menghambur kejalan begitu lampu menyala merah. Anak ini juga ikut mencari
makan. Ayahnya, seorang bapak jalanan; ibunya, seorang ibu jalanan terpaksa
membiarkan anaknya hidup dengan cara seperti ini.
Ibunya pernah bercerita, sejak bayi anaknya
ini sudah ikut mencari makan, dengan cara menangis dalam gendongan. Sekarang
mereka sudah berpisah. Masih-masing mencari makan di tempat terpisah. Ayah
mengemis di pasar, ibu mencari uang di perempatan sekitar beberapa kilometer
dari persimpangan Gellael.
Dulu, keluarga ini selalu berkumpul begitu
malam tiba, tetapi akhir-akhir ini Uyan sudah malas pulang ke pondok orang
tuanya. Ia lebih suka berkumpul dengan teman-temannya di emperen stasion. Lebih
ramai, dan kadang-kadang bisa ikut menonton televisi, melihat orang-orang kaya
dengan rumah bagusnya.
Kadang ia main ke tempat orang tuanya, mereka
juga kadang-kadang menengoknya di stasion. Melihat apakah anak mereka
satu-satunya ini bisa makan di dunia yang katanya begitu kejam ini.
Uyan tidak pernah ingat mulai kapan mencari
makan sendiri, yang pasti bukan orang tuanya yang menyuruh. Ia melihat
teman-temannya meminta uang di dekat lampu merah, ia menganggapnya sebagai
sebuah bentuk permainan. Lama kelamaan melakukannya karena merasa itu harus
dilakukan kalau tidak ingin kelaparan. Sama sekali tidak seorangpun menyuruh
atau memaksanya.
***
Tidak ada yang istimewa siang itu, suasananya
di persimpangan Gellael biasa-bisa saja. Tetapi entah datang darimana,
tiba-tiba beberapa orang berlarian ke arah anak-anak yang sedang mencari makan,
lalu melakukan penangkapan, Uyan dan kawan-kawannya tidak sempat melarikan
diri. Ibu dengan anak dalam gendongannya juga tidak sempat melarikan diri.
Semua dimasukkan ke dalam sebuah truk tertutup.
Truk ini melaju ke tempat yang tidak
diketahui oleh Uyan. Seandainyapun bisa melihat keluar, ia tetap tidak akan
bisa tahu ke arah mana truk membawanya. Anak ini sangat ketakutan, apalagi
ketika teringat cerita menakutkan tentang orang-orang yang menangkap anak
jalanan. Katanya kalau sudah tertangkap, tidak ada yang bisa kembali, tidak
tahu entah dibawa ke mana. Seseorang pernah berkata, anak jalanan yang
tertangkap akan dibuang ketempat yang sangat jauh.
Perjalanan truk ini pasti sangat jauh, ia bisa
merasakannya. Akhirnya truk ini terasa melambat setelah memasuki sebuah
belokan, bahkan akhirnya berhenti. Mereka telah sampai ke suatu tempat, tempat
yang tidak dikenalnya. Begitu bagian belakang truk terbuka, seseorang dengan
lembut menyuruh mereka semua keluar.
Begitu turun, setiap anak mendapat minuman.
Lalu anak laki-laki dipisahkan dari anak perempuan. Yang perempuan disuruh
mengikuti dua orang wanita ke sebuah bangunan, sedangkan Uyan dan
kawan-kawannya disuruh mengikuti tiga orang pria ke sebuah bangunan juga,
ternyata tempat untuk mandi. Setiap anak menerima sepasang pakaian baru yang
bersih begitu selesai mandi.
"Semua berkumpul ke bangunan itu,"
kata seorang bapak sambil menunjuk bangunan besar di dekat tempat mereka mandi.
Bangunan ini isinya meja-meja panjang penuh dengan piring dan makanan. Anak ini
makin heran dan entah mengapa malah makin ketakutan.
Sesudah makan mereka disuruh keluar lagi,
anak laki-laki dan wanita kembali dipisahkan, kali ini anak laki-laki digiring
ke sebuah bangunan. Anak perempuan juga digiring menuju bangunan di depannya.
Kedua bangunan dipisahkan oleh sebuah tanah lapang. Setiap empat anak disuruh
memasuki sebuah kamar. Uyan dan tiga anak lain disuruh masuk ke sebuah kamar
dengan tempat tidur susun, kamar yang tampak bersih.
"Kalian tidur disini," kata bapak
yang menyuruh mereka masuk. Lalu berkata kepada Uyan, "kamu tidur di atas
sini," mungkin karena Uyanlah yang paling kecil di antara ketiga temannya.
Hari belum begitu malam, tetapi Uyan dan
teman-temannya tidak punya pilihan, mereka harus tidur. Uyan tidak mengantuk,
tetapi entah mengapa langsung tertidur begitu kepalanya menyentuh bantal yang
empuk. Untuk pertama kalinya ia tidur di atas tempat tidur empuk dan bersih.
Ia terbangun begitu mendengar bunyi keras
didalam kamar, seperti sirine mobil polisi. Lalu terdengar suara dari kotak
hitam di salah satu ujung langit-langit kamar. Suara yang menyuruh mereka
keluar dan berkumpul di lapangan yang memisahkan tempat anak laki-laki dengan
anak perempuan.
Setelah mandi dan makan, sarapan yang membuat
perut Uyan sakit, karena tidak terbiasa sarapan pagi, beberapa pria mengantar
mereka ke sebuah bangunan lain lagi. Bangunan dengan sebuah ruangan yang sangat
besar. Sudah banyak anak berkumpul di dalamnya, anak-anak yang tidak dikenal
oleh Uyan. Menurutnya jumlahnya sekitar jumlah anak di limapuluh perempatan
yang ada lampu merahnya. Semuanya memakai pakaian sama, kaos dengan tulisan
yang tidak bisa dibacanya.
"Jangan takut, kami mengumpulkan kalian
di sini bukan untuk menghukum kalian. Kami mengumpulkan kalian demi masa depan
kalian sendiri," kata seorang pria yang duduk di meja menghadap ke arah
mereka. Pria ini tampak baik dan penuh belas kasihan, jenis orang yang sangat
disukai oleh Uyan.
"Kami akan mendidik kalian menjadi orang-orang
yang berguna bagi masyarakat," lanjutnya dengan penuh semangat, "kami
akan mendidik kalian supaya tidak menjadi sampah masyarakat lagi."
Uyan tidak mampu mengerti perkataan orang
ini, pikirannya melayang ke persimpangan dimana ia seharusnya mencari uang.
Juga teringat orang tuanya. Saat ini mereka mungkin masih belum tahu
penangkapan itu. Mereka baru mulai mencarinya kalau ia tidak muncul di pondok
selama beberapa minggu. Seandainya mereka sudah mendengarnya, ia berharap
mereka tidak terlalu cemas.
Menurutnya, bapak ini sudah berbicara sekitar
duapuluh kali lampu merah berganti ketika pantatnya mulai terasa sakit. Ia
tidak tahan duduk diam seperti ini, benar-benar membosankan. Apalagi tidak bisa
berbuat apa-apa, beberapa orang mengawasi mereka. Bapak ini terus berbicara
tentang sesuatu yang tidak dimengertinya, tanpa peduli dengan anak-anak yang
sedang ketakutan, takut karena belum mengerti.
Uyan tahu banyak orang yang baik dan
mengasihi dia. Ia juga tahu orang-orang di tempat ini juga baik, tetapi ia
merasa takut. Ia sudah sudah terbiasa dengan orang-orang yang menolong tanpa
ikatan. Ia sudah terbiasa dengan orang-orang yang pergi begitu saja setelah
menolongnya. Ia sekarang ketakutan karena orang-orang baik ini berbicara
tentang hal-hal yang tidak dipahaminya.
Akhirnya bapak ini selesai berbicara, lalu
anak-anak dibawa ke sebuah bangunan yang penuh dengan mesin dan potongan kayu.
Anak-anak dipisahkan ke dalam beberapa kelompok. Kelompok Uyan disuruh
berkumpul didekat seorang bapak yang sedang merekatkan potongan kayu. Setelah
beberapa saat, potongan-potongan itu menjadi sebuah mobil mainan.
Seorang bapak berkata, "Kalian akan
diajarkan supaya bisa melakukan hal seperti ini, juga ketrampilan
lainnya."
Selama beberapa hari berikutnya, anak-anak
ini bekerja di bangunan yang ternyata bernama bengkel. Kadang-kadang mereka
juga disuruh masuk ke sebuah bangunan yang ada papan putih di depannya. Seorang
bapak mencoret-coret papan itu, lalu menyuruh mereka menulis garis-garis-garis
aneh seperti itu. "lihat ke papan tulis", "tulis ke buku
kalian", membuat Uyan tahu papan putih itu namanya papan tulis, benda di
tangannya bernama buku tulis.
Setelah beberapa minggu ia mulai bosan. Sudah
tahu nama hari, jam, cara membuat mainan dari kayu, tidak membuatnya merasa
nyaman. Ia sudah belajar banyak hal, tetapi malah merasa bosan. Bosan duduk
berjam-jam membuat mainan, bosan mencoret-coret buku tulis, bosan mengingat
bentuk corat-coret itu. Bosan mendengar orang lain berbicara panjang lebar. Ia
merindukan suasana ketika berlarian setiap kali lampu merah menyala lalu
menyingkir begitu lampu hijau menyala.
Makan teratur, disiplin kerja, tidur teratur,
sudah menjadi kata yang akrab di telinganya. Tetapi rasanya lebih enak makan
kalau sudah dapat uang. Lebih enak tidur di emperan stasion, bisa tidur kalau
sudah mengantuk. Lebih enak menonton polisi mengejar orang yang tidak pakai
helm daripada menulis huruf-huruf aneh. Kebosanan membuatnya merindukan
pandangan orang-orang yang mengasihi mereka, orang-orang yang nemberi uang lalu
pergi.
Suatu hari, ia menemukan banyak tutup botol
di sebuah bak sampah. Diam-diam ia mengambil dan menyembunyikannya di kamar --
dibawah lemari. Tidak akan ada yang menemukannya di situ. Juga mengambil
beberapa paku kecil serta sepotong kayu sebesar baterei dari bengkel.
Diam-diam, ketika tidak ada orang di kamar, ia memaku tutup botolnya di
sepanjang kayu ini. Bagian pertama rencananya selesai, ketika alat buatannya
bisa mengeluarkan bunyi setiap kali dipukul.
Beberapa hari kemudian ia mendapat kesempatan
melarikan diri. Ketika teman-temanya sudah tidur, diam-diam ia keluar kamar,
lalu memanjat tembok, tidak sampai seperempat jam ia sudah menjadi orang bebas.
Dalam hati ia berkata, "aku punya cerita yang bagus untuk diceritakan
kepada teman-teman."
Ia tidak tahu berada dimana sekarang -- tidak
masalah. Sudah sering orang tuanya membawanya berpindah-pindah. Yang harus
dilakukannya hanyalah mencari tempat perhentian bis, lalu naik sambil
memukul-mulul tutup botolnya.
Sekarang ia hanya perlu berjalan mengikuti
arah bis yang lewat, pasti ada tempat perhentian bis beberapa kilometer lagi.
Lalu tidur begitu sampai, besok pagi baru naik -- tidak perduli naik kemana.
Masih banyak orang yang penuh belas kasihan.
Ia tidak tahu berada di kota apa sekarang,
tidak tahu orang tuanya di mana. Mereka telah mengajarkannya mencari makan dan
hidup, semoga mereka tidak terlalu mengkhawatirkannya. Ia akan mencari mereka
nanti, tidak sekarang. Saat ini ia harus pergi sejauh-jauhnya dulu.
Uyan sama sekali tidak mengantuk, ia telah
belajar tentang jam, sehingga tahu telah berjalan selama berjam-jam ketika
akhirnya menemukan tempat perhentian bis. Seseorang sedang tidur di situ, pasti
orang gila karena membawa buntalan pakaian -- tidak apa-apa. Ia membaringkan
diri agak jauh dari orang gila itu, lalu tertidur.
***
Besok ia akan pergi ke suatu tempat yang
tidak diketahuinya -- tidak apa-apa, masih banyak orang yang mengasihi anak
jalanan. Ia cuma tinggal memukul-mukul tutup botolnya di sebuah persimpangan,
persimpangan yang ada lampu merahnya.
Ia baru akan berhenti menjadi anak jalanan
kalau sudah tidak ada lagi orang yang punya belas kasihan. Ya, ia baru akan
berhenti menjadi anak jalanan kalau orang-orang yang memberi uang lalu pergi
itu sudah tidak ada lagi.
Kalau mereka masih ada, ia akan tetap menjadi
anak jalanan, lalu menjadi bapak jalanan, lalu kemudian menjadi kakek jalanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar