“Kita masih bermental pejajah. Kelakuan masih
seperti lembu. Dipukul belakang, baru jalan”. Sindiran, sekaligus “tamparan”
ini dilontarkan Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI, Anwar Nasution,
pada acara Dialog Publik: Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan
dan Tanggungjawab Keuangan Negara/Daerah, di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Rabu
(7/1).
Bisa jadi, Anwar sedang gerah melihat
kinerja aparat birokrasi negeri ini yang lamban seperti “lembu”. Jika dipukul
baru jalan alias bekerja. Geram!, menyaksikan para pejabat di Negara ini atau
bahkan daerah yang bermental seperti penjajah. Lirik kiri, lirik kanan. Yang
tahu cuma: minta upeti! Ujung-ujungnya, korupsi juga. Padahal, gaji dan
penghasilan per bulannya, sudah dapat menjalani hidup layak.
Lantas, apa yang menjadi penyebab
semua itu? Menurut Anwar Nasution. Buruknya pengelolaan keuangan daerah di Aceh
selama tiga tahun terakhir (2005-2007) dibuktikan dari persentase Laporan
Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian
(WTP) dan wajar dengan pengecualian (WDP). Bahkan, pengelolaan keuangan Aceh
selama tiga tahun terakhir justru belum memperlihatkan kemajuan yang baik.
Kondisi ini, sebut Anwar, disebabkan
lemahnya prosedur pencatatan, penyusunan, dan penyajian laporan keuangan.
Termasuk kelemahan pengelolaan kas daerah, pengelolaan aset tetap, pengelolaan
pendapatan, penyimpangan terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa, serta
penyimpangan ketentuan tentang pengeluaran dan pertanggungjawaban belanja
daerah.
Anwar Nasution menambahkan.
Pemerintah daerah harus segera bertindak, melakukan perbaikan agar laporan
keuangan yang dibuat bisa mendapatkan opini WTP. “Diperlukan action plan atas
enam bidang perbaikan yang harus dilakukan. Pertama sebut Anwar. Sistem pembukuan.
Kedua, Sistem Aplikasi Tekhnologi. Ketiga, Inventarisasi Aset dan Hutang.
Keempat, jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemerikasaan serta
pertanggungjawaban anggaran. Kelima, Quality Assurance atas LKPD oleh pengawas
intern dan keenam, Sumber Daya Manusia,” kata Anwar.
Terkait sumber daya manusia (SDM),
Direktur Peninjauan Hibah Fasilitas Daerah dari Dirjen Perimbangan Keuangan RI,
Drs Ardiansyah mengungkapkan. Pengembangan SDM dibidang pengelolaan
keuangan mengalami stagnasi, termasuk Aceh. Contohnya, sebut Ardiansyah, untuk
SKPD sudah ada pengelolaan keuangan secara internal, tetapi tidak mendapat
perhatian oleh pemerintah. Kondisi ini sebut Ardiansyah, akan menjadi masalah
jika tidak didukung oleh skill yang baik.
“Karena, otonomi khusus itu dibuat
untuk kesejahteraan masyarakat dan menghilangkan kesenjangan yang terjadi. Jika
ini tidak mampu diatasi daerah, justru telah terjadi penyalahgunaan massa
Otonomi Khusus itu sendiri,” sebut Ardiansyah.
Selain itu, dalam pantauan Dirjen
Perimbangan Keuangan RI, permasalahan pengelolaan keuangan daerah disebabkan
karena lemahnya kinerja Laporan Keuangan Daerah. Rendahnya daya serap dan
efektifitas anggaran. Kenyataan ini sejalan dengan banyaknya kasus hukum
dibidang keuangan daerah serta banyaknya Perda yang bermasalah dan berimplikasi
pada ekonomi biaya tinggi.
Hal inilah yang menyebabkan posisi
saldo kas Pemrintah Aceh masih tinggi. Bahkan paling tinggi untuk seluruh
provinsi yang ada di Indonesia (Lihat Tabel).
Sebagai tindak lanjut dari hasil
Pemeriksaan BPK-RI atas LKPD Tahun Anggaran 2007 lalu. BPK RI Perwakilan Aceh
telah meminta kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk membuat action plan
penyelesaian temuan-temuan BPK-RI. Dari 22 entitas pemerikasaan yang telah
dilakukan, diketahui, hanya tujuh entitas yang telah menyerahkan action plan
tersebut.
Ketujuh daerah itu adalah; Pemkab Aceh Tenggara, Pemko Sabang, Pemko Langsa, Pemkab Aceh Besar, Pemkab Nagan Raya, Pemkab Simeuleu dan Pemko Banda Aceh. Begitupun, penyusunan action plan dari Pemko Langsa masih belum seperti yang diharapkan.
Ketujuh daerah itu adalah; Pemkab Aceh Tenggara, Pemko Sabang, Pemko Langsa, Pemkab Aceh Besar, Pemkab Nagan Raya, Pemkab Simeuleu dan Pemko Banda Aceh. Begitupun, penyusunan action plan dari Pemko Langsa masih belum seperti yang diharapkan.
Dalam dialog publik itu juga terungkap. Pemerikasaan yang
dilakukan badan diluar BPK RI tidaklah sah. Menurut Anwar Nasution, hasil-hasil
pemerikasaan yang dilakukan selain BPK, merupakan pengawasan bukan pemerikasa.
Karena itu, pemerikasaan yang dilakukan diluar BPK RI menyalahi Undang-undang.
Apalagi, hasil-hasil pemeriksaan dari
BPK ini, apabila terkait hukum akan diserahkan (rekomendasi-red) kepada Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan menindaklanjutinya. “Jadi, hasil audit
atau pemeriksaan yang dilakukan selain BPK, tidak sah,” tegas Anwar.
Anwar Nasution berharap. Langkah
inisiatif BPK ini dapat segera dilaksanakan dengan baik. Sebab, buruknya
transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah, pada gilirannya akan
meningkatkan peluang kebocoran dan menghambat kinerja pemerintah daerah dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sementara itu, Direktur Peninjauan
Hibah Fasilitas Daerah dari Dirjen Perinbangan Keuangan RI, Drs Ardiansyah
berpendapat. Keterlambatan pembahasan hingga molornya pengesahan RAPBA yang
selama ini terjadi di Aceh, merupakan biang dari sikap Pemerintah Aceh yang
tidak taat azas dan taat waktu dalam proses pembuatan draft hingga pembahasan
rancangan anggaran daerah.
Menurut Ardiansyah. Seharusnya
pemerintah daerah telah melakukan penyusunan ini sejak bulan Mei. Rancangan
dibuat pada bulan Juni dan dibahas pada Juli. “Sehingga, pada saat awal tahun,
dana itu sudah bisa sampai kepada masyarakat melalui frame-frame,” kata
Ardiansyah.
Untuk itulah, apapun yang terjadi di
daerah papar Ardiansyah, masalah pembahasan anggaran harus tetap dilaksanakan.
Contohnya pemerintah pusat. Walau terjadi krisis, pemilu maupun pergantian
presiden, untuk urusan anggaran tidak ada alasan terhambat. Semua ini demi
kepentingan Negara sendiri. Begitu seharusnya dengan pemerintah daerah.
Memang kata Ardiansyah, kondisi saat ini justru serba salah.
Saat APBN disahkan pada bulan Oktober, daerah harus mengesahkan APBD nya paling
lambat sebulan setelah itu. Akibatnya, dana APBN yang telah ditransfer ke
daerah tidak dapat dipergunakan kecuali hanya untuk biaya gaji Pegawai Negeri
Sipil (PNS) saja.
Parahnya lagi. Pemerintah sangat
pelit mengeluarkan dana untuk peningkatan SDM di bidang keuangan. Padahal,
masalah keuangan daerah bukan hanya tanggungjawab Bappeda atau badan lainnya.
Sebaliknya, menjadi tanggungjawab setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD).
“Anehnya, untuk studi tour dan studi banding justru melimpah dan sangat banyak,”
ujar Ardiansyah.
Intinya sebut Ardiansyah, apapun
alasan dan kondisi yang terjadi di daerah (sebagaiman terjadi di pusat–red),
masalah pembahasan dan pengesahan anggaran daerah harus taat azas dan taat
waktu. Karena, masalah inillah yang paling banyak terjadi di daerah. Termasuk
Aceh.
upati Aceh Besar, Dr Tgk Bukhari
Daud, saat sesi tanya jawab mempertanyakan status dana daerah yang disalurkan
untuk instansi vertikal seperti TNI, Polri, Kejaksaan serta Pengadilan Negeri.
Pada kesempatan itu, dengan tegas Anwar Nasution mengatakan. ”Bantuan untuk
instansi vertikal haram! Karena, instansi vertikal itu telah memperoleh dana
tersendiri dari APBN,” sebut Anwar.
Begitupun sebut Anwar, ada beberapa
hal yang diperbolehkan dana daerah diberikan kepada instansi vertikal.
Misalnya, untuk pengaturan lalulintas. Selain itu tidak diperbolehkan, ujar
Anwar.
Anwar mencontohkan. Untuk Pemilu
ataupun adanya kerusuhan, dana itu sudah ada dari APBN. ”Jadi, bukan tanggung
jawab daerah lagi. Seperti Gubernur, dia sudah mendapat jatah, jadi jangan lagi
mengharapkan jatah dari daerah. Jangan dibiasakan hal-hal buruk ini. Haram
hukumnya,” tegas Anwar.
Terkait lambatnya pengesahan anggaran
daerah. Anwar Nasution menegaskan. Apapun yang terjadi di negeri ini, anggaran
APBN harus tetap disahkan. tidak pengaruh pada pengangkatan pejabat ataupun
pergantian pejabat. “Jangan korbankan kepentingan rakyat hanya karena masalah
politis kepentingan kelompok. Jadi jangan coba cari argument macam-macam atas
keterlambatan pengesahan anggaran,” tekan Anwar.
Lantas, bagaimana dengan Aceh? Tahun
2007 berlalu misalnya, banyak masalah. Tahun 2008, banyak dana yang tidak mampu
diserap. ”Tapi, semua itu tetap dibalas dengan argumen-argumen dan alasan dari
Pemerintah Aceh untuk membela diri,” papar Anwar.
Akankah APBA 2009 berakhir dengan
argumen dan alasan-alasan klise serupa? Bisa jadi ya, juga tidak. Karena,
pengesahan APBA ternyata kembali “molor” dari apa yang digaung-gaungkan
sebelumnya. Alasan apa lagi yang akan dibuat Pemerintah Aceh? Entahlah, suka-suka
sajalah. Toh dana masih melimpah!**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar