HOME .POLHUKUM .PENDIDIKAN .EKONOMI .KESEHATAN. SOSIAL BUDAYA. WISATA ALAM. KRIMINAL. PEMBANGUNAN.

Sabtu, 16 Agustus 2014

KATA PENGANTAR LAPORAN

Bangsa Indonesia menyadari adanya berbagai kekurangan dan kejanggalan dalam konstitusinya, khususnya tentang sistem pemerintahan. Selain seluruh jalan menuju perbaikan terhadap UUD 1945 telah ditutup sedemikian rupa oleh penguasa, baik jalur konstitusional maupun legal, juga karena sebagian masyarakat telah “dininabobokkan” dengan kenyamanan kesejahteraan, khususnya ekonomi meski bersifat sementara dan semu. Kebuntuan tersebut mencair setelah terjadi penolakan rakyat terhadap pemerintahan Presiden Soeharto pada Mei 1998 melalui “the people’s power” yang berakhir dengan tumbangnya Orde Baru setelah berkuasa selama 32 tahun. Reformasi pun dimulai, baik melalui penataan pelaksanaan pemilu, partai politik, serta susunan dan kedudukan ( susduk ) MPR, DPR, dan DPRD, maupun reformasi yang lebih mendasar yakni reformasi konstitusi.[1]
Perlahan tapi pasti, seiring dengan nada reformasi, paradigma lama yang terkubur selam 32 tahun terangkat kembali. Otonomi daerah mengangkat paradima pertama, pemisahan kekuasan diantara legislative, eksekutif dan yudikatif, dan desentralisasi kekuasaan kepada daerah otonom merupakan pra kondisi penhomatan kepada budaya local (local knowledge) maupun kejeniusan local (local genius) tidak salah akan menjamin pluralisme budaya tetapi juga mendorong integrasi nasional. Dan kedua, desentralisasi sumber pendapatan dan penggunaan pendapatan nasional kepada daerah otonom lebih mampu menjamin pemerataan dan keadilan sosial. Otonomi daerah seluas-luasnya dalam bidang politik, ekonomi dan budaya justru akan mendorong integrasi nasional. Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.25 Tahun 1999 tentang  Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah disusun berdasarkan paradigma baru ini.[2]
Gelombang otonomi daerah yang mulai didengungkan setelah tumbangnya kekuasaan orde baru telah menghasilkan beberapa perubahan mendasar terhadap beberapa kewenangan baik yang berupa atribusi, delegasi maupun mandat kepada daerah, sehingga daerah mulai menggeliat untuk berupaya membangun daerahnya sesuai dengan potensi daerah yang ada, yang salah satu tujuannya adalah terciptanya iklim sosial politis, sosial ekonomi, sosial kultural dan kamtibnas yang sesuai dengan kearifan lokal daerah.
            Ada tiga agenda perubahan besar yang sedang berlangsung dan masih terus harus diperjuangkan di Indonesia dewasa ini yang tercakup dalam tema reformasi menyeluruh. Ketiga agenda besar itu mencakup penataan kembali semua institusi umum, baik pada tingkat supra struktur kenegaraan maupun pada tingkat infra struktur kemasyarakatan; pembaruan dan pembentukan berbagai perangkat peraturan perundang-undangan baru pada semua tingkatannya; dan kebutuhan untuk reorientasi sikap sikap mental, cara berpikir, dan metode kerja yang melanda hampir setiap pribadi warga masyarakat di seluruh penjuru tanah air. Soal yang pertamadapat kita sebut sebagai agenda reformasi institusional (institutional reform) yang terus menerus perlu dilanjutkan penataannya sampai terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional dengan derajat pelembagaan yang rasional dan impersonal. Soal kedua kita sebut dengan reformasi instrumental (instrumental reform) yang menyangkut upaya-upaya pembaruan mulai dari konstitusi sampai ke peraturan-peraturan pada tingkatan terendah seperti Peraturan Daerah Kabupaten dan Peraturan Desa. Dan soal yang ketiga kita namakan dengan reformasi budaya (cultural reform), yang menyangkut orientasi pemikiran, pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan di masa mendatang.
            Ketiga agenda besar itu, suka atau tidak suka, sekarang ini sedang berlangsung dengan sangat intensif. Tetapi, tingkat kecepatannya antara satu bidang dengan bidang yang lain tidak sama, di samping itu tidak semua orang memiliki tingkat kesadaran dan pemahaman yang sama, baik mengenai soal-soal besarannya maupun apalagi dalam soal-soal rincian yang harus dikembangkan dalam kerangka agenda reformasi itu. Karena itu, pada sebagian orang, agenda reformasi itu baru sampai pada tingkat retorika yang antara lain tercermin dalam kegairahan memperkembangkan pola-pola permainan ‘wacana’ tanpa menyadari pentingnya efektifitas agenda aksi di lapangan. Akibatnya, tema reformasi menjadi sesuatu yang terasa elitis sifatnya dan tidak terasa maknanya yang berdampak langsung terhadap upaya perbaikan nasib dan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu, diperlukan obor penentu arah bagi perjalanan agenda reformasi yang bersifat menyeluruh itu yang sudah seyogyanya diperankan oleh kaum intelektual yang menyadari peranannya.
            Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah merupakan awal eksistensi pemerintah daerah dalam membangun serta menciptakan pelayanan, peran serta masyarakat, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah yang lainnya.
            Terdapat beberapa isu utama yang dijadikan dasar arah kebijakan politik hukum pemerintahan daerah diarahkan untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan daerah lokal. Pertama adalah untuk meningkatkan kwalitas pelayanan bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan daerah, kedua ditujukan untuk memberdayakan peran serta masyarakat baik dalam proses pembentukan, maupun pelaksanaan kebijakan publik di daerah, ketiga untuk meningkatkan daya saing daerah guna tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan lokal akan terwujud resultant keunggulan daya saing nasional.
            Secara umum dapat diurai tentang urusan yang menjadi urusan pemerintahan daerah.
 Pertama dalam bidang legislasi  yakni atas prakarsa sendiri membuat Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah yang meliputi Perda Propinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan Peraturan Kepala Daerah meliputi Peraturan Gubernur dan/atau Peraturan Bupati / Walikota, kedua masalah perimbangan keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, dan ketiga dalam perencanaan APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan demikian dapat dikatakan betapa luasnya cakupan urusan yang menjadi prioritas daerah.
Boleh dikatakan bahwa tantangan utama yang dihadapi pemerintahan daerah di Indonesia (juga negara-negara berkembang lain) adalah bagaimana menciptakan sebuah tata pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean government). Tantangan tersebut muncul karena banyaknya persoalan nyata yang dihadapi oleh pemerintahan daerah dan masyarakat yang belum dapat diselesaikan. Masalah pengangguran, kemisikinan, rendahnya mutu dan kesempatan memperoleh pendidikan, serta rendahnya tingkat kesehatan warga adalah beberapa contoh permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah.
Banyaknya persoalan yang belum dapat diatasi tersebut sebagian disebabkan oleh absennya fungsi tata pemerintahan yang baik, yang berimbas pada buruknya sistem manajemen pengelolaan pemerintahan. Pemerintahan kabupaten/kota (Pemkab) seharusnya dapat menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, dan kebijakan yang diambil bersifat terbuka (transparan), sehingga pertanggungjawaban pemerintah terhadap publik bersifat objektif dan wajar. Dalam masalah ini, legalisasi transparansi menemukan urgensinya.
            Terdapat beberapa permasalahan terutama berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah dalam program legislasi daerah atau pembentukan Peraturan Daerah (Perda). Permasalahan-permasalahan terutama berkaitan dengan proses pengajuan, perencanaan, persiapan pembentukan, pembahasan, pengesahan maupun dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda). Kerancuan yang ada bukan hanya dipicu oleh peraturan perundang-undangan yang kurang memberikan pengertian dan respon bagi legislator di daerah, akan tetapi juga dipicu oleh kurangnya pemahaman legislator daerah dalam mengartikan perundang-undangan atau bahkan mempolitisasi makna/arti ketentuan perundang-undangan yang ada, disamping karena memang kurangnya pengetahuan tentang teknik pembentukan peraturan perundang-undangan.
            Yang tak kalah pentingnya adalah persoalan kewenangan wakil Bupati yang semakin tidak jelas kewenangannya dalam bidang apa saja, mengingat pemegang otoritas kekuasaan biasanya terpusat pada Bupati, padahal kalau melihat pemilihan Bupati dan Wakil Bupati dilakukan bersama-sama antara keduanya akan tetapi memiliki kewenangan yang cukup signifikan diantara keduanya.
            Wakil Bupati Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kasim, SH mengundurkan diri dari jabatannya. Pasalnya, sejak dilantik jadi wakil bupati Oktober 2001 lalu, tidak pernah diberi wewenang oleh Bupati Buton Ir Sjafei Kahar, untuk menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Hal itu menjadi contoh kecil dari kesekian wakil kepala daerah yang merasa belum puas dengan adanya kewenangan yang dimilikinya yang kadang berada kuat di tangan Kepala Daerah.
            Di Kabupaten Bangkalan kewenangan Wakil Bupati menjadi tidak jelas dengan adanya terpusatnya kekuasaan yang berada pada Bupati sebagai Kepala Daerah, sehingga tugas dan fungsi wakil Bupati menjadi kurang jelas peran sertanya selama ini. Untuk itu seringkali kewenangan dan pekerjaan Wakil Bupati hanya sebagai ban serep kalau dimungkinkan ditunjuk oleh Bupati dalam kewenangannya sebagai kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan dalam kesehariannya.
Kewenangan yang menjadi kewenangan Wakil Bupati akan menjadi tidak jelas dan kabur dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kewenangan Wakil Bupati yang ada di daerah. Berdasarkan uraian diatas














Tidak ada komentar: