Bangsa Indonesia
menyadari adanya berbagai kekurangan dan kejanggalan dalam konstitusinya,
khususnya tentang sistem pemerintahan. Selain seluruh jalan menuju perbaikan
terhadap UUD 1945 telah ditutup sedemikian rupa oleh penguasa, baik jalur
konstitusional maupun legal, juga karena sebagian masyarakat telah
“dininabobokkan” dengan kenyamanan kesejahteraan, khususnya ekonomi meski bersifat
sementara dan semu. Kebuntuan tersebut mencair setelah terjadi penolakan rakyat
terhadap pemerintahan Presiden Soeharto pada Mei 1998 melalui “the people’s
power” yang berakhir dengan tumbangnya Orde Baru setelah berkuasa
selama 32 tahun. Reformasi pun dimulai, baik melalui penataan pelaksanaan
pemilu, partai politik, serta susunan dan kedudukan ( susduk ) MPR, DPR, dan
DPRD, maupun reformasi yang lebih mendasar yakni reformasi konstitusi.[1]
Perlahan tapi pasti,
seiring dengan nada reformasi, paradigma lama yang terkubur selam 32 tahun
terangkat kembali. Otonomi daerah mengangkat paradima pertama, pemisahan
kekuasan diantara legislative, eksekutif dan yudikatif, dan desentralisasi
kekuasaan kepada daerah otonom merupakan pra kondisi penhomatan kepada budaya
local (local knowledge) maupun kejeniusan local (local
genius) tidak salah akan menjamin pluralisme budaya tetapi juga
mendorong integrasi nasional. Dan kedua, desentralisasi sumber
pendapatan dan penggunaan pendapatan nasional kepada daerah otonom lebih mampu
menjamin pemerataan dan keadilan sosial. Otonomi daerah seluas-luasnya dalam
bidang politik, ekonomi dan budaya justru akan mendorong integrasi nasional.
Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang
No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
disusun berdasarkan paradigma baru ini.[2]
Gelombang otonomi daerah yang mulai didengungkan setelah
tumbangnya kekuasaan orde baru telah menghasilkan beberapa perubahan mendasar
terhadap beberapa kewenangan baik yang berupa atribusi, delegasi maupun mandat
kepada daerah, sehingga daerah mulai menggeliat untuk berupaya membangun
daerahnya sesuai dengan potensi daerah yang ada, yang salah satu tujuannya
adalah terciptanya iklim sosial politis, sosial ekonomi, sosial kultural dan
kamtibnas yang sesuai dengan kearifan lokal daerah.
Ada tiga agenda
perubahan besar yang sedang berlangsung dan masih terus harus diperjuangkan di
Indonesia dewasa ini yang tercakup dalam tema reformasi menyeluruh. Ketiga
agenda besar itu mencakup penataan kembali semua institusi umum, baik pada
tingkat supra struktur kenegaraan maupun pada tingkat infra struktur
kemasyarakatan; pembaruan dan pembentukan berbagai perangkat peraturan
perundang-undangan baru pada semua tingkatannya; dan kebutuhan untuk
reorientasi sikap sikap mental, cara berpikir, dan metode kerja yang melanda
hampir setiap pribadi warga masyarakat di seluruh penjuru tanah air. Soal
yang pertamadapat kita sebut sebagai agenda reformasi
institusional (institutional reform) yang terus menerus perlu
dilanjutkan penataannya sampai terbentuknya institusi yang kuat dan fungsional
dengan derajat pelembagaan yang rasional dan impersonal. Soal kedua kita
sebut dengan reformasi instrumental (instrumental reform) yang
menyangkut upaya-upaya pembaruan mulai dari konstitusi sampai ke peraturan-peraturan
pada tingkatan terendah seperti Peraturan Daerah Kabupaten dan Peraturan Desa.
Dan soal yang ketiga kita namakan dengan reformasi
budaya (cultural reform), yang menyangkut orientasi pemikiran,
pola-pola perilaku, dan tradisi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat luas
yang perlu dikembangkan dalam rangka mendukung proses pelembagaan sistem dan
mekanisme kehidupan kenegaraan yang diidealkan di masa mendatang.
Ketiga
agenda besar itu, suka atau tidak suka, sekarang ini sedang berlangsung dengan
sangat intensif. Tetapi, tingkat kecepatannya antara satu bidang dengan bidang
yang lain tidak sama, di samping itu tidak semua orang memiliki tingkat
kesadaran dan pemahaman yang sama, baik mengenai soal-soal besarannya maupun
apalagi dalam soal-soal rincian yang harus dikembangkan dalam kerangka agenda
reformasi itu. Karena itu, pada sebagian orang, agenda reformasi itu baru
sampai pada tingkat retorika yang antara lain tercermin dalam kegairahan
memperkembangkan pola-pola permainan ‘wacana’ tanpa menyadari pentingnya
efektifitas agenda aksi di lapangan. Akibatnya, tema reformasi menjadi sesuatu
yang terasa elitis sifatnya dan tidak terasa maknanya yang berdampak langsung
terhadap upaya perbaikan nasib dan kepentingan rakyat banyak. Oleh karena itu,
diperlukan obor penentu arah bagi perjalanan agenda reformasi yang bersifat
menyeluruh itu yang sudah seyogyanya diperankan oleh kaum intelektual yang
menyadari peranannya.
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah merupakan awal eksistensi pemerintah daerah
dalam membangun serta menciptakan pelayanan, peran serta masyarakat, prakarsa
dan pemberdayaan masyarakat yang pada akhirnya bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat. Sejalan dengan prinsip tersebut
dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab sesuai
dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi
setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah yang lainnya.
Terdapat
beberapa isu utama yang dijadikan dasar arah kebijakan politik hukum
pemerintahan daerah diarahkan untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan dan
kesejahteraan daerah lokal. Pertama adalah untuk meningkatkan
kwalitas pelayanan bidang pemerintahan, kemasyarakatan dan pembangunan
daerah, kedua ditujukan untuk memberdayakan peran serta
masyarakat baik dalam proses pembentukan, maupun pelaksanaan kebijakan publik
di daerah, ketiga untuk meningkatkan daya saing daerah guna
tercapainya keunggulan lokal dan apabila dipupuk kekuatan lokal akan
terwujud resultant keunggulan daya saing nasional.
Secara
umum dapat diurai tentang urusan yang menjadi urusan pemerintahan daerah.
Pertama dalam
bidang legislasi yakni atas prakarsa sendiri membuat
Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah yang meliputi Perda
Propinsi, Kabupaten/Kota, sedangkan Peraturan Kepala Daerah meliputi Peraturan
Gubernur dan/atau Peraturan Bupati / Walikota, kedua masalah perimbangan
keuangan antara pusat dan daerah merupakan suatu sistem
pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, transparan dan
bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelenggaraan dekonsentrasi dan
tugas pembantuan, dan ketiga dalam perencanaan
APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang
ditetapkan dengan peraturan daerah. Dengan demikian dapat dikatakan betapa
luasnya cakupan urusan yang menjadi prioritas daerah.
Boleh dikatakan bahwa
tantangan utama yang dihadapi pemerintahan daerah di Indonesia (juga
negara-negara berkembang lain) adalah bagaimana menciptakan sebuah tata
pemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintah yang bersih (clean
government). Tantangan tersebut muncul karena banyaknya persoalan nyata yang
dihadapi oleh pemerintahan daerah dan masyarakat yang belum dapat diselesaikan.
Masalah pengangguran, kemisikinan, rendahnya mutu dan kesempatan memperoleh
pendidikan, serta rendahnya tingkat kesehatan warga adalah beberapa contoh
permasalahan yang dihadapi pemerintah daerah.
Banyaknya persoalan yang
belum dapat diatasi tersebut sebagian disebabkan oleh absennya fungsi tata
pemerintahan yang baik, yang berimbas pada buruknya sistem manajemen
pengelolaan pemerintahan. Pemerintahan kabupaten/kota (Pemkab) seharusnya dapat
menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi, dan kebijakan yang
diambil bersifat terbuka (transparan), sehingga pertanggungjawaban pemerintah
terhadap publik bersifat objektif dan wajar. Dalam masalah ini, legalisasi
transparansi menemukan urgensinya.
Terdapat
beberapa permasalahan terutama berkaitan dengan kewenangan pemerintah daerah
dalam program legislasi daerah atau pembentukan Peraturan Daerah (Perda).
Permasalahan-permasalahan terutama berkaitan dengan proses pengajuan,
perencanaan, persiapan pembentukan, pembahasan, pengesahan maupun dalam
pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda). Kerancuan yang ada bukan hanya dipicu
oleh peraturan perundang-undangan yang kurang memberikan pengertian dan respon
bagi legislator di daerah, akan tetapi juga dipicu oleh kurangnya pemahaman
legislator daerah dalam mengartikan perundang-undangan atau bahkan
mempolitisasi makna/arti ketentuan perundang-undangan yang ada, disamping
karena memang kurangnya pengetahuan tentang teknik pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Yang
tak kalah pentingnya adalah persoalan kewenangan wakil Bupati yang semakin
tidak jelas kewenangannya dalam bidang apa saja, mengingat pemegang otoritas
kekuasaan biasanya terpusat pada Bupati, padahal kalau melihat pemilihan Bupati
dan Wakil Bupati dilakukan bersama-sama antara keduanya akan tetapi memiliki
kewenangan yang cukup signifikan diantara keduanya.
Wakil Bupati Kabupaten
Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), Kasim, SH mengundurkan diri dari
jabatannya. Pasalnya, sejak dilantik jadi wakil bupati Oktober 2001 lalu, tidak
pernah diberi wewenang oleh Bupati Buton Ir Sjafei Kahar, untuk menjalankan
tugas sebagaimana mestinya. Hal itu menjadi contoh kecil dari kesekian wakil
kepala daerah yang merasa belum puas dengan adanya kewenangan yang dimilikinya
yang kadang berada kuat di tangan Kepala Daerah.
Di
Kabupaten Bangkalan kewenangan Wakil Bupati menjadi tidak jelas dengan adanya
terpusatnya kekuasaan yang berada pada Bupati sebagai Kepala Daerah, sehingga
tugas dan fungsi wakil Bupati menjadi kurang jelas peran sertanya selama ini.
Untuk itu seringkali kewenangan dan pekerjaan Wakil Bupati hanya sebagai ban
serep kalau dimungkinkan ditunjuk oleh Bupati dalam kewenangannya sebagai
kepala daerah dalam melaksanakan pemerintahan dalam kesehariannya.
Kewenangan yang menjadi kewenangan Wakil Bupati akan
menjadi tidak jelas dan kabur dengan tidak adanya peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang kewenangan Wakil Bupati yang ada di daerah. Berdasarkan
uraian diatas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar