HOME .POLHUKUM .PENDIDIKAN .EKONOMI .KESEHATAN. SOSIAL BUDAYA. WISATA ALAM. KRIMINAL. PEMBANGUNAN.

Minggu, 24 Agustus 2014

PEJABAT MASIH ”BERMENTAL JAJAHAN, KELAKUAN LEMBU”


 “Kita masih bermental pejajah. Kelakuan masih seperti lembu. Dipukul belakang, baru jalan”. Sindiran, sekaligus “tamparan” ini dilontarkan Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI, Anwar Nasution, pada acara Dialog Publik: Mendorong Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara/Daerah, di Anjong Mon Mata, Banda Aceh, Rabu (7/1).
Bisa jadi, Anwar sedang gerah melihat kinerja aparat birokrasi negeri ini yang lamban seperti “lembu”. Jika dipukul baru jalan alias bekerja. Geram!, menyaksikan para pejabat di Negara ini atau bahkan daerah yang bermental seperti penjajah. Lirik kiri, lirik kanan. Yang tahu cuma: minta upeti! Ujung-ujungnya, korupsi juga. Padahal, gaji dan penghasilan per bulannya, sudah dapat menjalani hidup layak.
Lantas, apa yang menjadi penyebab semua itu? Menurut Anwar Nasution. Buruknya pengelolaan keuangan daerah di Aceh selama tiga tahun terakhir (2005-2007) dibuktikan dari persentase Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) yang mendapatkan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dan wajar dengan pengecualian (WDP). Bahkan, pengelolaan keuangan Aceh selama tiga tahun terakhir justru belum memperlihatkan kemajuan yang baik.
Kondisi ini, sebut Anwar, disebabkan lemahnya prosedur pencatatan, penyusunan, dan penyajian laporan keuangan. Termasuk kelemahan pengelolaan kas daerah, pengelolaan aset tetap, pengelolaan pendapatan, penyimpangan terhadap ketentuan pengadaan barang dan jasa, serta penyimpangan ketentuan tentang pengeluaran dan pertanggungjawaban belanja daerah.
Anwar Nasution menambahkan. Pemerintah daerah harus segera bertindak, melakukan perbaikan agar laporan keuangan yang dibuat bisa mendapatkan opini WTP. “Diperlukan action plan atas enam bidang perbaikan yang harus dilakukan. Pertama sebut Anwar. Sistem pembukuan. Kedua, Sistem Aplikasi Tekhnologi. Ketiga, Inventarisasi Aset dan Hutang. Keempat, jadwal waktu penyusunan laporan keuangan dan pemerikasaan serta pertanggungjawaban anggaran. Kelima, Quality Assurance atas LKPD oleh pengawas intern dan keenam, Sumber Daya Manusia,” kata Anwar.
Terkait sumber daya manusia (SDM), Direktur Peninjauan Hibah Fasilitas Daerah dari Dirjen Perimbangan Keuangan RI, Drs Ardiansyah  mengungkapkan. Pengembangan SDM dibidang pengelolaan keuangan mengalami stagnasi, termasuk Aceh. Contohnya, sebut Ardiansyah, untuk SKPD sudah ada pengelolaan keuangan secara internal, tetapi tidak mendapat perhatian oleh pemerintah. Kondisi ini sebut Ardiansyah, akan menjadi masalah jika tidak didukung oleh skill yang baik.
“Karena, otonomi khusus itu dibuat untuk kesejahteraan masyarakat dan menghilangkan kesenjangan yang terjadi. Jika ini tidak mampu diatasi daerah, justru telah terjadi penyalahgunaan massa Otonomi Khusus itu sendiri,” sebut Ardiansyah.
Selain itu, dalam pantauan Dirjen Perimbangan Keuangan RI, permasalahan pengelolaan keuangan daerah disebabkan karena lemahnya kinerja Laporan Keuangan Daerah. Rendahnya daya serap dan efektifitas anggaran. Kenyataan ini sejalan dengan banyaknya kasus hukum dibidang keuangan daerah serta banyaknya Perda yang bermasalah dan berimplikasi pada ekonomi biaya tinggi.
Hal inilah yang menyebabkan posisi saldo kas Pemrintah Aceh masih tinggi. Bahkan paling tinggi untuk seluruh provinsi yang ada di Indonesia (Lihat Tabel).
Sebagai tindak lanjut dari hasil Pemeriksaan BPK-RI atas LKPD Tahun Anggaran 2007 lalu. BPK RI Perwakilan Aceh telah meminta kepada Gubernur/Bupati/Walikota untuk membuat action plan penyelesaian temuan-temuan BPK-RI. Dari 22 entitas pemerikasaan yang telah dilakukan, diketahui, hanya tujuh entitas yang telah menyerahkan action plan tersebut.
Ketujuh daerah itu adalah; Pemkab Aceh Tenggara, Pemko Sabang, Pemko Langsa, Pemkab Aceh Besar, Pemkab Nagan Raya, Pemkab Simeuleu dan Pemko Banda Aceh. Begitupun, penyusunan action plan dari Pemko Langsa masih belum seperti yang diharapkan.
Dalam dialog publik itu juga terungkap. Pemerikasaan yang dilakukan badan diluar BPK RI tidaklah sah. Menurut Anwar Nasution, hasil-hasil pemerikasaan yang dilakukan selain BPK, merupakan pengawasan bukan pemerikasa. Karena itu, pemerikasaan yang dilakukan diluar BPK RI menyalahi Undang-undang.
Apalagi, hasil-hasil pemeriksaan dari BPK ini, apabila terkait hukum akan diserahkan (rekomendasi-red) kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang akan menindaklanjutinya. “Jadi, hasil audit atau pemeriksaan yang dilakukan selain BPK, tidak sah,” tegas Anwar.
Anwar Nasution berharap. Langkah inisiatif BPK ini dapat segera dilaksanakan dengan baik. Sebab, buruknya transparansi dan akuntabilitas keuangan daerah, pada gilirannya akan meningkatkan peluang kebocoran dan menghambat kinerja pemerintah daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sementara itu, Direktur Peninjauan Hibah Fasilitas Daerah dari Dirjen Perinbangan Keuangan RI, Drs Ardiansyah berpendapat. Keterlambatan pembahasan hingga molornya pengesahan RAPBA yang selama ini terjadi di Aceh, merupakan biang dari sikap Pemerintah Aceh yang tidak taat azas dan taat waktu dalam proses pembuatan draft hingga pembahasan rancangan anggaran daerah.
Menurut Ardiansyah. Seharusnya pemerintah daerah telah melakukan penyusunan ini sejak bulan Mei. Rancangan dibuat pada bulan Juni dan dibahas pada Juli. “Sehingga, pada saat awal tahun, dana itu sudah bisa sampai kepada masyarakat melalui frame-frame,” kata Ardiansyah.
Untuk itulah, apapun yang terjadi di daerah papar Ardiansyah, masalah pembahasan anggaran harus tetap dilaksanakan. Contohnya pemerintah pusat. Walau terjadi krisis, pemilu maupun pergantian presiden, untuk urusan anggaran tidak ada alasan terhambat. Semua ini demi kepentingan Negara sendiri. Begitu seharusnya dengan pemerintah daerah.
Memang kata Ardiansyah, kondisi saat ini justru serba salah. Saat APBN disahkan pada bulan Oktober, daerah harus mengesahkan APBD nya paling lambat sebulan setelah itu. Akibatnya, dana APBN yang telah ditransfer ke daerah tidak dapat dipergunakan kecuali hanya untuk biaya gaji Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja.
Parahnya lagi. Pemerintah sangat pelit mengeluarkan dana untuk peningkatan SDM di bidang keuangan. Padahal, masalah keuangan daerah bukan hanya tanggungjawab Bappeda atau badan lainnya. Sebaliknya, menjadi tanggungjawab setiap Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD). “Anehnya, untuk studi tour dan studi banding justru melimpah dan sangat banyak,” ujar Ardiansyah.
Intinya sebut Ardiansyah, apapun alasan dan kondisi yang terjadi di daerah (sebagaiman terjadi di pusat–red), masalah pembahasan dan pengesahan anggaran daerah harus taat azas dan taat waktu. Karena, masalah inillah yang paling banyak terjadi di daerah. Termasuk Aceh.
upati Aceh Besar, Dr Tgk Bukhari Daud, saat sesi tanya jawab mempertanyakan status dana daerah yang disalurkan untuk instansi vertikal seperti TNI, Polri, Kejaksaan serta Pengadilan Negeri. Pada kesempatan itu, dengan tegas Anwar Nasution mengatakan. ”Bantuan untuk instansi vertikal haram! Karena, instansi vertikal itu telah memperoleh dana tersendiri dari APBN,” sebut Anwar.
Begitupun sebut Anwar, ada beberapa hal yang diperbolehkan dana daerah diberikan kepada instansi vertikal. Misalnya, untuk pengaturan lalulintas. Selain itu tidak diperbolehkan, ujar Anwar.
Anwar mencontohkan. Untuk Pemilu ataupun adanya kerusuhan, dana itu sudah ada dari APBN. ”Jadi, bukan tanggung jawab daerah lagi. Seperti Gubernur, dia sudah mendapat jatah, jadi jangan lagi mengharapkan jatah dari daerah. Jangan dibiasakan hal-hal buruk ini. Haram hukumnya,” tegas Anwar.
Terkait lambatnya pengesahan anggaran daerah. Anwar Nasution menegaskan. Apapun yang terjadi di negeri ini, anggaran APBN harus tetap disahkan. tidak pengaruh pada pengangkatan pejabat ataupun pergantian pejabat. “Jangan korbankan kepentingan rakyat hanya karena masalah politis kepentingan kelompok. Jadi jangan coba cari argument macam-macam atas keterlambatan pengesahan anggaran,” tekan Anwar.
Lantas, bagaimana dengan Aceh? Tahun 2007 berlalu misalnya, banyak masalah. Tahun 2008, banyak dana yang tidak mampu diserap. ”Tapi, semua itu tetap dibalas dengan argumen-argumen dan alasan dari Pemerintah Aceh untuk membela diri,” papar Anwar.
Akankah APBA 2009 berakhir dengan argumen dan alasan-alasan klise serupa? Bisa jadi ya, juga tidak. Karena, pengesahan APBA ternyata kembali “molor” dari apa yang digaung-gaungkan sebelumnya. Alasan apa lagi yang akan dibuat Pemerintah Aceh? Entahlah, suka-suka sajalah. Toh dana masih melimpah!**


Tidak ada komentar: