HOME .POLHUKUM .PENDIDIKAN .EKONOMI .KESEHATAN. SOSIAL BUDAYA. WISATA ALAM. KRIMINAL. PEMBANGUNAN.

Rabu, 13 Agustus 2014

Jangan Panggil Aku Lonte

“Ini dengan siapa?”
“Saya, Ardhan,” jawab saya.
Seketika hening. Saya masih sabar menunggu jawabannya. Berharap wanita itu menerima permintaan saya.
“Gimana ya bang..,” kata wanita itu. Ragu-ragu.
“Gimana bagaimana?” tanya saya.
“Aduh bang, maaf sekali saya sedang haid nih. Lagi pula saya mau pulang.” Jawabnya.
“Loh, memangnya mau pulang kemana?” tanya saya lagi, penasaran.
“Ya.. pulang ke Lhokseumawe bang,” jawabnya lagi.
“Oh.. ya sudah, tidak mengapa. Nanti akan saya kabari kembali,” kata saya menutup pembicaraan.
Perempuan dan Pengorbanan
Itulah awal perkenalan saya dengan Rina (bukan nama sebenarnya), seorang wanita muda berdarah Aceh yang telah menetap di Kota Medan, Sumatera Utara.
Sepekan setelah pembicaraan itu, akhirnya saya kembali menelponnya. Setelah berbasa-basi, akhirnya kami sepakat untuk bertemu disalah satu Hotel di kota Banda Aceh.
Rina mengaku, ia tidak memiliki ongkos untuk ke Banda Aceh, apalagi, kebetulan dirinya baru sampai di Medan.
“Ah, lagi-lagi uang,” pikirku.
Tapi tidak masalah. Apapun alasannya, aku harus bertemu dengan Rina di Banda Aceh. Akhirya, aku pun mengirimnya uang untuk keberangkatan ke Banda Aceh dan memesan kamar untuk dua malam. Karena, satu malam tidak mungkin aku dapat “mengupas” dirinya secara keseluruhan.
Lagi-lagi kesepakatan dibuat. Aku akan menyanggupi biaya kepulangannya ke Medan. Dan akhirnya dia siap menemui saya di Banda Aceh dan menginap di Hotel yang telah saya pesan. Tapi satu kata darinya, “Saya ga bisa janji dua malam ya bang,” katanya.
***
Tepat Pukul 09.30 WIB. Akhirnya saya bertemu dengan sosok Rina. Sosok yang telah lama menjadi incaran saya. Mulai dari bertanya kepada teman-teman hingga mengejar no handphonenya, walau belum pernah berjumpa dan tidak pernah melihat fotonya. Dan semuanya tidak sia-sia.
Setelah mendapat sms dari Rina yang mengabarkan bahwa dirinya sudah sampai di hotel, saya pun meninggalkan kantor tempat saya bekerja dan berbegas menuju hotel.
Lima menit kemudian, dengan sedikit kebut-kebutan di jalan, saya pun sampai di hotel. Dari pintu masuk, seorang gadis duduk manis di kursi lobi. Mengenakan pakaian hitan biru, dipadu jilbab yang sewarna. Saya pun langsung mengenalnya sebagai sosok Rina. Karena, dalam sms yang dikirimkan kepada saya, seperti itulah warna pakaian yang ia kenakan.
“Lumayan cantik,” kata saya dalam hati. Kulit hitam manis, hidung mancung dan tentunya memiliki body yang dalam pandangan kaum adam, sangat lumayan.
Kami pun bersalaman dan sedikit berbasa-basi sebagai perkenalan. Sedikit malu-malu Rina mengenalkan dirinya. Begitupun saya, tentunya. Ada getaran di dalam dada. Deg deg serrr..
Karena perjalanan jauh dari Medan-Banda Aceh, tentu Rina masih lelah dan butuh istirahat. Lagi pun, saya tidak mungkin langsung “menembaknya”. Apalagi, kebetulan, saat itu saya juga sedang kerja.
Akhirnya, saya serahkan kunci kamar dan menyarankan dirinya untuk istirahat terlebih dahulu dan dan saya kembali ke kantor. Nanti, setelah pulang kantor, saya akan kembali ke hotel untuk menemuinya. Ia pun setuju. 
***
Malam menapaki Kota Banda Aceh. Jantung ini semakin berdebar-debar tidak karuan. Sosok Rina terus tengiang pikiran saya. “Semoga semuanya berjalan lancar,” gumamku, berharap-harap cemas.
Saya berusaha duduk “manis’ di kursi lobi. Segelas jus menemaniku. Agak gemetaran, saya pun mengirim SMS kepada Rina dan mengabarkan bahwa aku sudah berada di lobi.
Dalam hati sempat terpikir, apa yang dilakukan Rina di dalam kamarnya. Karena, janji awal kami bertemu di lobi hotel.
“Ah… mudah-mudahan…. saja… tidak!” saya membuang pikiran negatif yang mulai merasuki saya.
Lima menit berselang, Rina pun muncul di hadapan saya. Benar-benar terlihat cantik. Walau tetap menggenakan pakaian muslimah (Tapi entah di Medan sana, karena saya memang belum pernah jumpa dengannya di Medan).
***
“Maaf bang. Apa yang abang dengar dari orang lain tentang saya tidak benar. Saya bukan lonte atau wanita malam,” katanya.
Saya diam…
“Saya ga nyalahin abang, memang banyak teman yang bilang saya sekarang bekerja sebagai perempuan malam di Medan karena trauma dan menjadi korban saat konflik di Aceh dulu,” lanjutnya.
Saya diam…
“Tapi sudahlah, bang. Mungkin ini memang nasib saya selalu dijelek-jelekkan orang. Biar saja. Toh saya hidup tidak menyusahkan mereka. Saya hidup mencari makan sendiri, kerja dan untuk keluarga,” katanya lagi.
Saya diam..
“Saya benar-benar mohon maaf bang. Bukannya saya menolak permintaan abang, tapi saya memang tidak bisa mengabulkan permohan abang,” katanya sambil menatap saya.
Saya diam. Tidak tahu harus berkata apa. Dan lagi pula, saya tidak mungkin memaksanya untuk menerima permintaan saya.
Keesokan paginya, Rina pamit untuk kembali ke Medan. Dan sekali lagi, ia mohon maaf karena menolak permintaan saya.
***
Rina, gadis Aceh yang kini menetap di Medan. Usianya sekitar 22 tahun. Mengaku tinggal bersama family di Medan.
Saya tidak tahu apa profesinya di kota itu. Saya beserta seorang teman bersusah payah mencari nomornya hingga bisa berjumpa langsung. Namun tidak dapat membuka semua tabir ini.
Bukan tabir dirinya sebagai wanita malam di Medan, tapi tabir benarkan ia korban konflik (pemerkosaan) sehingga membuatnya trauma dan menjual dirinya di Medan.
Berbagai informasi yang saya peroleh dan dari teman, Rina memang seorang korban pemerkosaan pada masa konflik dan kini menjadi wanita malam karena “kemarahannya”.
Jika ini benar, sangat disayangkan. Karena, kita, masyarakat, terlalu sering lupa dengan kondisi disekiling kita. Begitupun Pemerintah Aceh, belum mampu mengungkap semuanya para korban konflik pada masa lalu, khususnya terkait kejahatan seksual. (karena memang banyak korban tidak ingin berterus terang demi menjaga masa depan).
Bisa jadi, masih banyak Rina lainnya di ujung negeri ini yang sedang menjerit dan menangis dipenghujung malam, merenungi masa depan yang terenggut oleh nafsu. Tragisnya, kita tidak tahu, siapa para pelaku yang berbuat durja tersebut. Kita benar-benar tidak tahu.
**Awal pembuatan buku namun batal karena nara sumber (Rina-red) menolak. Hanya satu yang masih tengiang; “Saya sedih bang. Mengapa mereka tega menuduh saya seperti ini!”

Tidak ada komentar: